Friday, February 27, 2015

BUJANG JOGJA DI TV LINTAS NEGARA

Sebagai follower twitter, teman Facebook, fans FP, pembaca blog, dan penggemar tulisan-tulisan Pak Edi Mulyono, alias Edi Akhiles, alias Edi AH Iyubenu, maka saya tahu beberapa waktu yang lalu beliau sekeluarga melancong ke Thailand. Bahkan sebelum itu, saya ikuti pula berita kunjungan beliau ke Malaysia, Jepang, bahkan Eropa. Foto-foto terupload dengan rapi di media-media yang saya sentuh itu.

Dalam begitu banyak foto, ada selebriti di rombongan kecil keluarga bahagia itu; anak lelaki bungsu beliau. Ya, De Garaa (benarkah begini menulisnya? CMIIW). Anak bujang itu pula favoritku. Sedap nian dipandang mata, karena ia sungguh ekspresif dan photogenic. Yes, saya mengaku sering berlama-lama melihat Si Bujang dalam gambar. Sedang bermain drum, naik motor trail, duduk santai, melongok curiously, berdiri cool, bahkan cemberut-yang sama sekali ngga mengurangi kharismanya. Tsah!!
Itulah mengapa saya seolah hapal sekali dengan wajah Si Bujang yang, untungnya, mirip sang ibu ^_^ (maaf, Pak)

Lalu, sekitar seminggu yang lalu saya sedang duduk santai menemani kakek menonton TV. Lupa chanel berapa, tapi saya ingat betul itu stasiun TV berbahasa Jepang. Program yang disiarkan adalah semacam jurnal perjalanan wisata seorang gadis Jepang di Bangkok, Thailand.
Wisata Bangkok memang khas. Kuil-kuil indah, jajanan extreme, lady boy cantik, dan kendaraan khas Tuk-tuk.
Naah... sewaktu scene sang gadis dalam Tuk-tuk, ada sesuatu yang membuat mata saya sulit berkedip, dan bibir saya sulit dibatasi rekah senyumnya. Si Gadis terus melaporkan keasyikannya menaiki Tuk-tuk, sedangkan kamera mengarah ke sekitar; ke supir, ornamen dalam kendaraan, dan penumpang lainnya. Saat kamera bergerak itulah saya melihat sebuah wajah yang tak asing (meski belum pernah sekalipun saya lihat aslinya). Wajah seorang bujang berbaju kuning dan berkacamata hitam bulat mengangkat tangan menyapa ke kamera.

De Garaa!!

Aih, masa, sih De Garaa?!
Tapi saya begitu hapal dengan wajah itu.

Demi meyakinkan perasaan yang sebenarnya sudah sangat yakin, saya mencoba konfirmasi pada ayah Si Bujang.
Confirmed! Yap, itu De Garaa.

+ Punten pak, apa waktu di Thailand kmarin bapak&kluarga ketemu orang jepang lg shooting? Ini sy liat TV sama kakek, acara reality show japan. Kok liat dek Gara di tuk tuk :D
- Haahh masak iya de garaa
+ Mirip. Persis malah.
Kaos kuning, sun glass bulat.
Dia kah?
- Iyaa betul. Kok bs yaa

(Itu copas konfirmasi saya dengan beliau)

Jadi saat mereka sekeluarga naik Tuk-tuk di Bangkok, boleh jadi kebetulan bersama dengan dua orang kru TV Jepang itu (si Gadis dan kameraman)

Saya rasa ini keren sekali. Seorang bujang dari Jogja, tanpa sengaja masuk TV Jepang dalam acara wisata di Thailand. Dan saya, seorang emak dari Cilacap melihatnya bersama kakek di Bukit Wenshan, Taipei, Republic of China.

Betapa dunia ini penuh dengan ujug-ujug mak bedunduk.

**Sumber foto: laman Fb bapak Edi Mulyono.

Wednesday, February 4, 2015

”MERAYU” JURI LOMBA MENULIS

Tulisan ini saya share untuk teman-teman dalam rangka menyambut Taiwan Literature Award for Migrant #2 tahun ini.
Ini adalah poin-poin yang saya pakai dan perhatikan ketika mengikuti lomba itu tahun lalu. Saya memang hanya berhasil menjadi juara favorit, bersama 5 orang lainnya. Tapi tulisan itu (katanya) mendapat apresiasi khusus di forum penulis-penulis Taiwan. Ini kata Mrs. Kuo Yu Ling, penulis novel terkenal yang mengajak saya berdiskusi dengan teman-temannya. Lalu diapresiasi pula secara khusus oleh koran United Daily News yang pada tanggal 12 Oktober 2014 memuat profil saya sepanjang 2/3 halaman.
Well, katimbang saya berpanjang-panjang pamer dan bikin teman-teman mual, langsung saya tulis saja ’jimat’ saya untuk merayu para juri dalam lomba itu.

1. Menulislah dengan bagus. Ini MUTLAK dan HARUS! Pelajari EYD dan tanda baca yang benar.

2. Teliti tiap huruf. Hindari typo, atau salah ketik huruf. Jangan malas untuk memeriksa berulang-ulang tulisan sebelum diposting.

3. Pilih cerita yang universal dan mudah dimengerti oleh orang dari negara manapun. Ingat, juri lomba ini bukan hanya orang Indonesia, maka pastikan segala persoalan yang ditulis bisa dimengerti dan menyentuh rasa dan karsa orang yang berbeda budaya. Paling aman bila kita mengambil cerita yang bersifat humanis, atau kemanusiaan.

4. Usahakan tidak narsis. Jangan terlalu sibuk bercerita tentang diri sendiri, curhat dan mengeluh, apalagi memuji-muji diri sendiri. TIDAK BOLEH merendahkan dan menghina orang lain. Juga jangan terlalu menyanjung orang lain, lalu merendahkan posisi kita sendiri. Biasa saja, lah. Letakan diri kita sejajar dengan siapa pun, dalam posisi masing-masing.

5. Masih berhubungan dengan poin 4, daripada menulis tentang ”SIAPA SAYA” lebih baik menulis tentang ”APA YANG TERJADI” dari sudut pandang saya. Artinya, kita mengajak juri (dan pembaca) untuk mengikuti ’saya’ melihat sebuah peristiwa. Bukan menyuruh mereka melihat ’saya’ mengikuti sebuah peristiwa.

6. Observasi. Lengkapi tulisanmu dengan data, meski itu fiksi sekalipun. Jangan malas untuk mengobservasi sedikit pengetahuanmu di bidang tertentu. Misal, tentang penyakit, tentang jenis bunga, tentang geografi, atau apapun, untuk mendukung ceritamu supaya lebih menarik dan ’terlihat cerdas’ :))

Bingung, ya? Ha ha ha... Sama!

Pokoknya begitulah yang saya perhatikan ketika mengikuti lomba tahun lalu. Boleh diikuti, boleh tidak. Terserah saja. Soalnya saya juga tidak tahu juri itu menilainya bagaimana.

Yang penting, menulislah...
Ikut lomba, jangan asal jadi penggembira. Bekali dirimu dengan mental berkompetisi. Belajar dan berusaha memberi yang terbaik.
Ikut lomba, berusahalah untuk menang. Kerahkan segala upayamu untuk menjadi juara.
Ikut lomba, harus percaya diri. Saya akui, yang ini agak susah karena saya juga kadang minder dan jiper duluan ^_^ Tapi memang harus begitu. Cuma jangan kebablasan ya... Jadinya over confidence dan anti kritik.

Dan yang harus: SEMANGAT!!

Sunday, February 1, 2015

UBAN DI DEPAN CERMIN

Avi menyesali keputusannya untuk menjadi pekerja ilegal di Taiwan. Hanya karena ingin libur setiap akhir pekan, ia nekat kabur dari majikan resminya dan menerima tawaran kerja di pabrik makanan. Iming-iming uang yang banyak dan kebebasan telah menutup nalarnya dari kenyataan bahwa menjadi pekerja ilegal itu sangat beresiko.

Dua bulan pertama, betul memang Avi menikmati kebebasan hang out setiap akhir pekan kemanapun ia suka. Soal uang, tak beda jauh dari yang dihasilkannya ketika bekerja resmi. Malah ia jadi makin boros sekarang.

Tapi semua kenikmatan itu tak lama ia rasakan. Mess tempat tinggalnya digerebek oleh petugas imigrasi. Kawan-kawannya tertangkap. Avi lolos dengan cara kabur dari jendela kamar mandi. Ia lari tanpa membawa barang. Hanya pakaian yang melekat, beserta ponsel dan dompet berisi uang. Beruntung ia punya kawan orang Indonesia yang menikah dengan orang Taiwan. Di rumah kawannya yang bernama Lena inilah Avi menumpang sementara.

"Maaf, Vi, aku ngga bisa nampung kamu lama-lama di sini. Keberadaanmu membahayakan kami," kata Lena hati-hati.

"Iya, Len. Aku mengerti. Besok aku akan pergi," ujar Avi lesu.

**********

"Siao cie, ini mau kemana sebenarnya? Dari tadi berputar-putar saja," tegur supir taxi yang ditumpangi Avi.

Avi menghela napas dan menyuruhnya menepi. Ia melongok argo dan menyodorkan uang sejumlah yang tertera.

"Siao cie, kamu terlihat bingung. Kenapa? Ada yang bisa kubantu?"

Pertanyaan supir taxi itu mengurungkan sebentar gerak Avi yang hendak keluar. Ia bimbang luar biasa.

"Ah, tidak apa-apa. Terima kasih, Sien sen," sahutnya.

"Kamu seperti orang yang kabur dan sedang mencari pekerjaan." Supir taxi ini berucap dengan sangat tenang, tapi mampu membuat badan Avi mematung seketika.

********

Dari supir taxi itulah Avi akhirnya menemukan jalan keluar. Rupanya supir itu juga sering menjadi perantara pekerja-pekerja ilegal mencari pekerjaan. Avi ditawarinya bekerja di sebuah rumah yang jauh dari kota. Bahkan terpencil jauh pula dari tetangga yang lain. Tugasnya adalah merawat seorang kakek yang lumpuh separuh badan, serta bersih-bersih rumah.

Di rumah yang bangunannya sudah terlihat tua itu, ia tinggal hanya bertiga dengan kakek, dan seorang nyonya -mungkin anaknya- yang selalu menginginkan rumah itu bersih tanpa cela.

Kakek hanya bisa duduk di kursi roda dan sedikit bergerak saja. Bicara pun sudah susah, hanya gumaman tak jelas. Sedangkan sang nyonya lebih sering duduk dan membaca.

Rumah ini amat sepi. Sebenarnya Avi tidak betah sama sekali. Tapi dengan kondisi saat ini, justru tempat terpencil ini aman untuknya. Ia berpikir, mungkin akan mencoba bertahan sementara waktu saja.

Setiap pagi, bahkan hampir setiap saat, Avi harus selalu siap dengan lap. Ia harus segera menyeka benda apapun yang terlihat berdebu atau kotor di rumah ini. Kalau sampai nyonya menemukan ada yang kotor, maka bombardir kata-kata bernada protes akan keluar. Itu membuat Avi sumpek dan merasa lelah berlipat-lipat.

Untung saja kakek tidak merepotkan. Urusan menjaga kakek bisa ditangani dengan mudah. Apalagi tak ada anak kecil di rumah ini. Hanya saja memang sang nyonya yang super teliti pada kebersihan membuat Avi kerap harus membersihkan area yang sama berulang-ulang.

Satu tempat yang hampir tiap hari diprotes oleh nyonya adalah area depan cermin wastafel kamar kakek. Entah bagaimana, di area itu kerap tiba-tiba terdapat banyak remah atau bubuk putih seperti bedak. Kadang juga ceceran krim. Dan yang paling aneh, hampir setiap pagi Avi menemukan beberapa helai rontokan rambut berwarna putih di situ. Ini jelas bukan rambutnya, karena ia belum beruban. Rambut nyonya juga hitam legam. Satu-satunya orang yang beruban di rumah hanya kakek. Tapi kakek berambut pendek. Helai uban yang ditemukannya di depan cermin itu panjang.

Mungkin ia tak akan kebingungan seandainya ada orang yang sering memakai wastafel di kamar kakek itu. Nyatanya tak seorangpun pernah sengaja bercermin dan berdandan di situ. Avi hanya sesekali memakainya untuk mencuci tangan sebelum mempersiapkan kakek berangkat tidur.

"Avi! Ini masih kotor di sini," kata nyonya sambil mencolek tepian wastafel.

Tempat itu lagi!

Sambil mengelap tebaran bubuk putih, Avi melihat ke langit-langit. Mungkin ada yang rusak di atas sehingga cat atau materialnya rontok. Tapi tidak ada yang pantas dicurigai. Semua kelihatan baik.

Di mangkuk wastafel Avi menemukan lagi dua helai uban. Kali ini, ia tidak membuang uban itu, tapi memasukannya ke dalam plastik dan menyimpannya di kabinet di bawah wastafel.

********

Saban malam Avi tidur seperti bangkai. Jatuh lelap dalam sekali. Kelelahan yang dirasakannya sepanjang hari mengantarnya masuk alam mimpi total sampai pagi.

Kamarnya hanya terpisah sebuah sekat kayu dan tirai dari kamar kakek. Jadi meski boleh dibilang sekamar dengan pasien, Avi tetap punya privacy. Kakek pun tak pernah membangunkannya tengah malam. Dan meski cerewet soal pekerjaan, sang nyonya tetap memberi waktu istirahat yang cukup untuknya.

Namun malam ini berbeda. Avi memang sudah sangat lelah dan mengantuk. Tapi dipaksakannya membersihkan wastafel kamar, yang lagi-lagi dikotori oleh hamparan bubuk putih. Bahkan kali ini ada banyak helai uban yang tercecer. Avi merasa harus membersihkannya sekarang, karena boleh jadi besok nyonya akan memeriksa selagi dirinya belum sempat membersihkan karena sibuk membuat sarapan.

"Ini uban siapa, ya? Kok tiap hari terus ada ..." gumam Avi lirih pada dirinya sendiri.

Uban yang ditemukannya, disatukan dengan kumpulan uban di plastik yang sudah banyak.

Kakek tampak sudah mulai terlelap. Namun selimutnya agak tersingkap. Maka Avi mendekat untuk memperbaiki posisinya.

Ketika menarik selimut, Avi melihat ternyata kakek belum tidur.

"Avi, ng ... hwi ... hu ... ma ... ng .. hhh ...," Kakek bergumam-gumam tak jelas.

"Istirahat dulu, Kek." Avi menenangkan kakek dengan mengusap punggung tangannya.

Namun tiba-tiba kakek menggenggam tangan Avi erat-erat dan bangkit dengan mudahnya seperti orang sehat. Wajahnya yang biasanya tidak simetris, sekarang bisa tersenyum lebar dan cerah sekali.

"Avi, aku akan bertemu kekasihku malam ini. Tolong ambilkan sepatu dan rompi rajut untukku,"

Sungguh mengejutkan. Avi berdiri pias bagai patung melihat kakek yang biasanya lemah tak berdaya, sekarang segar bugar dan bicara dengan sangat jelas dan lancar. Badan Avi kaku dan dingin seketika dicekam ketakutan dan keterkejutan yang dahsyat.

Karena Avi diam saja maka kakek bangkit dengan ringannya menuju lemari. Kakek mengganti piyama tidurnya dengan setelan celana, kemeja, rompi, dan topi pet yang rapi. Sepatu kulit di pojok lemari juga dikenakannya. Kakek sekarang berpenampilan seperti lelaki sehat yang siap bepergian.

"Kakek, bagaimana bisa tiba-tiba sehat?" Avi masih merasa seperti bermimpi.

Badan tegang Avi makin mengejang ketika pandangannya tertumbuk pada sosok perempuan tua berambut panjang sedang berdiri menyisir dan berdandan di depan cermin wastafel. Badannya bercahaya. Pakaian rapi berwarna biru muda membalut tubuh keriputnya. Perempuan itu cantik, namun pucat.

Kakek mendekat dan menggamit lembut kedua tangannya. Mereka lalu berpelukan dan menari pelan. Berkali-kali Avi menepuk dan mencubit pipinya sendiri untuk memastikan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi. Ia merasakan tepukan dan cubitannya sendiri, namun suaranya lindap ditelan keterkejutan sekaligus kengerian.

Tiba-tiba perempuan tua itu melayang masuk ke dalam cermin menyeret kakek ikut masuk pelan-pelan. Kali ini otak Avi menyentuh batas sadar, dan tahu harus segera bertindak.

"Kakek! Jangan ikut, Kek!"

Badan kakek sudah separuh masuk ke balik cermin. Sekuat tenaga Avi menarik ujung rompinya. Tapi tangan perempuan tua itu menjulur keluar menghantam kepala Avi.

PLAAKK!!!

Avi terjengkang dan pingsan.

***********

Ketika kesadaran merambati nalarnya, wajah pertama yang Avi lihat adalah wajah nyonya.

"Ah, sudah sadar. Istirahatlah dulu sampai kamu pulih, Avi," ucap nyonya lembut.

"Maaf, Nyonya, aku kenapa? Oh, bagaimana dengan kakek?" Avi begitu cemas. Apalagi ketika ingatannya kembali penuh, terutama tentang kejadian semalam.

"Kamu terlalu capek, jadi pingsan. Sudah, istirahat saja dulu. Kakek baik-baik saja. Biar aku yang mengurusnya sementara," kata nyonya.

Ketika nyonya beranjak pergi, Avi melongok ke kamar kakek. Dilihatnya kakek sedang duduk diam sambil mendengar radio. Avi lega. Berarti kejadian aneh semalan mungkin hanya mimpi.

Sambil mengunyah roti yang diberi nyonya, Avi masih berusaha pelan-pelan meyakinkan dirinya sendiri tentang kejadian semalam. Rasanya begitu nyata. Ia masih ingat betul detail peristiwanya detik demi detik. Sampai ia teringat pada sesuatu.

Uban!

Ya, uban. Masih adakah uban di depan cermin?

Dengan badan yang masih agak lemah, Avi beranjak ke kamar kakek dan memeriksa area wastafel. Ia melihat dengan teliti setiap sudutnya. Bersih, tanpa remah-remah putih seperti biasanya. Namun kali ini ia menemukan sebuah lipstick.

"Apa ini punya perempuan tua yang semalam?" gumam Avi pada dirinya sendiri.

Pelan-pelan Avi memandang cermin dan menyentuhnya. Semalam ia melihat dengan jelas perempuan tua itu menarik kakek masuk menembusnya. Cermin itu terasa sangat dingin di kulit Avi.

Tiba-tiba sepasang tangan keriput menjulur keluar dari dalam cermin dan mencengkeram pundak Avi. Gadis itu terkejut bukan main. Sebenarnya ia reflek melenting mundur, tapi kalah cepat dengan gerakan sepasang tangan itu yang menariknya begitu kuat. Badan Avi tersedot masuk menembus cermin.

"Aaaa...!! Kakek! Nyonya! Tolooong...!" Avi memekik panik.

Namun semua terlambat. Kini Avi terkurung tak bisa keluar lagi. Suaranya juga lenyap teredam. Tapi ia masih bisa melihat suasana kamar kakek. Tangan Avi mengetuk cermin berkali-kali. Apalagi ketika dilihatnya nyonya masuk menghampiri kakek.

Kejadian selanjutnya membuat Avi hilang harapan. Dilihatnya kakek berdiri dan berjalan seperti orang sehat berdampingan dengan nyonya yang tertawa-tawa seperti puas sekali. Mereka berdua meninggalkan kamar setelah menancapkan sebatang hio di depan cermin wastafel.

※TAMAT※