Wednesday, May 21, 2014

TITIK HITAM

Cukup sudah!
Gemelutuk gerahamku beradu menahan geram. Ini benar-benar mengesalkan. Mereka mudah sekali mengejek dan menjadikanku bahan tertawaan. Semua gara-gara benda sialan ini, sebuah titik hitam sebesar kedelai yang menempel di sisi kanan hidungku: tahilalat.

”Kalau sebesar itu namanya bukan tahilalat lagi, itu tahi kambing,”
”Wah, mungkin hidungmu tuh, yang bentuknya mirip toilet, jadi lalat buang tahi di situ. Hahahaha ...”
 ”Kamu mandi nggak, sih? Jorok amat sampai lalat menclok dan berak di hidungmu?”

Itu hanya sebagian kecil dari olok-olok orang terkait dengan tahilalat sialan ini.

Karena itulah, sekarang aku di sini. Di ruang tunggu dokter bedah kecantikan. Ini adalah kunjungan ketigaku. Kunjungan diam-diam, tanpa sepengetahuan suami, keluarga, maupun teman-temanku. Aku ingin membuang titik hitam yang buruk ini. Menghentikan segala seloroh dan ejekan orang padaku.

Kunjungan pertama dan kedua adalah untuk konsultasi dan periksa. Dokter bilang, tahilalat ini biasa saja, bukan tumor berbahaya meskipun membesar pelan-pelan. Kalau mau dibiarkan, tiada mengapa. Namun bila ingin membuangnya juga mudah. Yaitu melalui tindakan bedah ringan yang makan waktu tak lebih dari sejam.

Aku mendapat antrian sebagai pasien nomor tujuh. Kulihat perempuan memegang kertas antrian nomor dua masih menunggu. Oh, dokter baru menerima satu pasien di dalam. Maka berarti giliranku masih lama. Tak mengapa, aku punya banyak waktu. Hari ini aku libur bekerja, sedangkan suamiku lembur sampai malam. Zizi anakku, seperti biasa diasuh oleh ibu mertuaku. Aku sudah memerah ASI dan menyimpannya di kulkas. Jadi Zizi tak akan kekurangan susu. Lagi pula, minum ASI perah sudah terbiasa baginya, karena tiap hari kutinggal bekerja. Anakku itu hanya menyusu langsung padaku di malam hari.

”Sakit apa, Bu?” Aku mencoba berbasa-basi pada ibu dengan antrian nomor dua itu.
”Ini.” Sungguh singkat jawabannya. Ibu itu hanya menunjukan ruam merah di punggung tangannya. Entah sakit apa.

Aku membuka mulut hendak bertanya lagi, namun asisten dokter memanggil sang ibu untuk masuk ruang periksa. Mulutku kembali terkatup.
Pasien lain terlihat sibuk sendiri-sendiri dengan gadgetnya. Aku yang memang sengaja mematikan telepon genggam supaya tak ada yang tahu aku di sini, malah jadi salah tingkah tak tahu bagaimana mengisi waktu menunggu ini.

Di pojok bangku kulihat ada tumpukan majalah. Kuambil satu majalah wanita dan membolak-balik halamannya yang nyaris dipenuhi iklan. Tapi karena aku tidak suka membaca, maka kantuk langsung datang begitu kulihat tulisan. Berat sekali mataku ini.

Aah ... Untung giliranku telah tiba. Aku masuk ruang dokter dengan hati berdebar-debar.

************

Luar biasa!
Ini memang dokter juara. Tahilalatku berhasil dihilangkan dalam waktu singkat, dan tanpa rasa sakit sedikitpun. Bahkan tanpa bekas. Hidungku yang tidak terlalu mancung ini sekarang bersih dari titik hitam yang mengganggu. Wajahku terlihat makin bersinar. Tak jemu aku bercermin di depan wastafel ruang operasi ini. Kupatut-patut diriku. Aih, sungguh berbeda.

”Semua sudah beres. Ibu silakan selesaikan urusan administrasi dengan asisten saya. Sebenarnya ibu tak perlu obat apa-apa. Tapi untuk berjaga-jaga, saya beri resep kecil saja. Konsumsi obatnya hanya jika ada yang terasa sakit. Kalau ibu baik-baik saja, obat itu tidak perlu diminum,” jelas dokter sambil menulis di kertas resep.

”Terima kasih,” sahutku.

Urusan pembayaran dan menebus resep di apotik kulakukan dengan sangat cepat. Aku sungguh tidak sabar ingin segera keluar. Bertemu dengan orang-orang yang selama ini mengejekku. Biar mereka melihat wajahku sekarang dan dunia akan segera tahu, ini aku: Listi tanpa tahilalat di hidung. Dan aku cantik.

Langkahku ringan keluar dari gedung asri itu. Sebenarnya aku bisa saja langsung pulang, namun aku ingat ada reuni kecil di rumah salah satu kawan SMA. Semacam arisan alumni untuk menjaga keakraban yang terjalin sejak sekolah dulu. Aku bersemangat ingin datang meski tidak ikut arisannya. Di antara semua yang mengejekku, kawan-kawan SMA inilah yang paling kejam. Biar mereka yang pertama kali tercengang melihatku tanpa tahilalat.

”Hai!” sapaku riang pada Citra.
Citra adalah kawan sebangku waktu kelas 3 dulu. Dia juga adalah orang yang kerap mengejek tahilalat ini.

Citra tampak agak terkejut, namun lalu justru seperti orang yang tak kenal denganku. Aih, sebegitu berubahkah diriku?
”Hai, maaf saya agak lupa. Mbak siapa ya?” tanya Citra.
”Listi. Duuh ... Masak sampai lupa dengan teman sebangku.” Aku menggamit lengannya penuh keakraban.
”Oo ... Ya, ya ... Maaf ya. Perasaan dulu kamu cantik sekali dengan tahilalat di wajahmu. Sekarang kok jadi seperti wajah permak silikon?” ucap Citra menohok tepat di ulu hatiku.

Aku tercekat. Lebih-lebih ketika bertemu kawan lain yang ternyata juga tidak langsung mengenaliku. Alih-alih memuji kecantikanku, mereka justru menyayangkan tahilalat itu hilang. Meski tidak melihat, aku bisa merasakan mereka berbisik-bisik membicarakanku. Sepanjang acara arisan aku terkucil. Aku menunduk dan mulai kehilangan percaya diri, lebih dari sekedar ketika aku diejek dulu.

*** *** ***

Sungguh aku ingin menangis tadi. Menyesal sekali datang ke acara arisan reuni hanya untuk dikucilkan. Yang sekarang aku inginkan hanyalah pulang dan bertemu suami, anak, dan saudara-saudaraku. Aku butuh dukungan atas hilangnya tahilalat ini dari wajahku. Aku ingin seseorang memujiku cantik, meski hanya lewat senyuman.

”Maaas ... Lihat kemari. Istrimu datang dengan wajah baru yang lebih cantik.” Aku berucap manja sambil tersenyum ketika masuk ke ruang tamu. Kulihat suamiku sedang menggendong Zizi sambil memegang balon.

Tapi reaksi suamiku benar-benar di luar dugaan. Kupikir dia akan senang dengan perubahan wajahku ini. Namun dia malah mengernyitkan dahi dan menatapku dingin.

”Kamu tuh, kenapa? Wajahmu jadi aneh begitu? Seharian ini kamu pergi kemana?” cecar suamiku.
”Aku ke dokter. Aku menjalani operasi kecil untuk membuang tahilalat yang mengganggu ini. Maaf aku tidak bilang dulu. Tapi cantik kan, Mas?” Meski sebenarnya syok, tapi aku tetap berusaha bermanis-manis pada suamiku.
”Aku menikahimu memang bukan karena kecantikan. Tapi kalau boleh aku jujur, kamu jauh lebih cantik dengan tahilalat di sisi hidungmu. Aku menyukainya. Tidakkah kamu merasa, hampir tiap hari kucium kamu di tahilalat itu?”

Kali ini aku benar-benar syok. Dadaku sesak, dan leherku tercekat seperti menelan sebutir biji salak. Tangisku meledak ...

Sungguh aku menyesal membuang tahilalat yang sebenarnya tidak mengganggu sama sekali ini. Aku terlalu mengambil hati setiap ejekan orang yang sebenarnya justru karena perhatian. Aku terlalu emosi dan cepat tersinggung.

Dan hatiku benar-benar hancur ketika ingin mengambil Zizi untuk aku susui. Zizi menangis dan menolak uluran tanganku. Entahlah, mungkin karena melihatku menangis, anak itu tidak mau kupeluk. Namun ketika aku menyeka air mata, dan kembali mengulurkan tangan, Zizi tetap bertahan memeluk suamiku semakin kencang.

Dengan kesabaran, akhirnya aku bisa memangku Zizi. Dadaku masih naik turun menahan tangis ketika membuka kancing baju hendak menyusuinya. Dan seperti refleks, tangan Zizi meraih hidungku. Sejak bayi dia memang selalu menyentuh dan bermain-main dengan tahilalatku ketika menyusu. Ketika tahilalat yang dicarinya tak ada, Zizi menangis sangat kencang. Dia berontak dari pangkuanku.

Remuk redam perasaanku. Kebahagiaanku hilang hanya gara-gara ingin membungkam ejekan orang-orang. Dan sebenarnya ejekan itu tidaklah serius. Aku saja yang terlalu cepat tersinggung. Kini aku menyesal. Sangat menyesal. Tangisku pecah lagi tanpa bisa kutahan.

*** *** ***

”Bu ... Bu ... Maaf, sekarang giliran ibu masuk ruangan. Ibu nomor tujuh, kan?”

Kurasakan seseorang mengguncang pelan pundakku. Aku membuka mata, dan kulihat asisten dokter berdiri di sampingku. Ouh, rupanya aku tertidur tadi. Dan aku bermimpi!

Astaga! Mengerikan sekali mimpiku tadi. Kuraba hidungku ...

”Aaah ...” Aku mendesah lega.
Tahilalat ini masih menempel di sisi kanan hidungku. Kurasakan keringat meleleh di pelipis, padahal ruang tunggu itu sejuk.

”Giliran ibu sekarang. Silakan masuk,” ucap asisten dokter itu sambil tersenyum.
Aku membalas senyumnya dan bangkit dari kursi yang nyaman itu. Kuserahkan tanda nomor antrian itu kepadanya.

”Maaf, saya tidak jadi membuang tahilalat ini,” Senyumku masih merekah.

Asisten dokter itu tampak sangat heran. Ah, aku tak peduli. Kulangkahkan kakiku mantap keluar dari tempat dokter bedah kecantikan itu. Pulang.

***** ******

Dimuat di Majalah TIM International, Taiwan
Edisi Mei 2014