Thursday, October 30, 2014

IBU SUSI BUKAN TELADAN

Rame ya, ngomongin Ibu Susi Pudjiastuti.
Aku punya cerita juga tentang beliau. Begini:

Pada suatu hari (hihihi), tepatnya aku lupa, sekitar akhir tahun 1997 atau awal tahun 1998, aku dan beberapa teman sedang ada pekerjaan di daerah Ciamis. Saat itu kami hendak memotret objek wisata Cukang Taneuh di Cijulang, dan penangkaran penyu di Cipatujah. Tempat singgah kami saat itu di Delta Gecko, sebuah penginapan pinggir laut Pangandaran. Satu dari kami adalah seorang wartawan. Dia memang berniat sekalian mewawancarai sosok perempuan pengusaha. Jadi, sekali dayung, dua tiga pulau terengkuh, gitu.

Nah, karena santai, maka kami semua ikut ke kafe Hilmans tempat Ibu Susi, sang pengusaha itu. Ketika kami datang, kafe sepi karena masih pagi. Kami disambut langsung oleh Ibu Susi yang saat itu mengenakan celana panjang jeans, baju atasan tanpa lengan bunga-bunga hitam putih, sandal santai, rambut keriwil yang diikat seadanya, dan rokok di tangan. Oiya, Ibu Susi juga tampak tanpa make up. Tapi beliau ramah. Kami dijamu sup kerang, lobster, dan ikan barakuda panggang. Menu berat untuk sarapan telat. Hahaha...

Ibu Susi adalah perempuan yang sangat energik. Energinya luar biasa. Beliau selalu bergerak, melesat-lesat. Ketika duduk pun, kakinya bergoyang-goyang, dan tangannya mengetuk-ngetuk. Ah iya, beliau merokok tak putus-putus.

"Saya sudah merokok sejak remaja," ucap Bu Susi.

Ketika batang terakhir dalam bungkus rokok itu ditarik, beliau langsung membuang bungkus itu ke keranjang di pojok kafe. Tapi lantas diambilnya lagi.

"Lupa, tadi saya menyelipkan uang Rp. 20.000 di sini. Kebiasaan. Sering lupa saya taruh uang di bungkus rokok, lalu dibuang saja." Beliau terkekeh.

"Kamu orang mana?"

Agak terkejut aku ketika beliau menanyakan itu sambil melihatku.

"Tetangga, Bu. Saya orang Cilacap," jawabku.

"Woooh... saya sering tuh ke Nusa Kambangan dari sini naik jetski sendiri. He he he ... Kapan-kapan, ayo nanti saya ajak,"

Rame betul ngobrol dengan beliau. Kami juga dikenalkan dengan anaknya, Hilman, yang lewat sekilas saja, acuh, lalu cepat-cepat lari entah kemana. Saat itu Hilman masih menjelang remaja, agak gendut. Karyawan yang membantunya melayani kami juga dikenalkan satu-persatu.

Selain duduk bicara di kafe sambil melihat biawak berjemur di pinggir kolam, kami juga diajak berkeliling tempat penyimpanan dan pengolahan lobster serta fillet ikan untuk ekspor.

"Pisau ini saya pesan dari Perancis. Boros betul pakai pisau di sini. Sebentar saja sudah kikis jadi seperti keris begini,"

Ibu Susi terus bercerita tentang usaha itu. Oiya, saat itu beliau belum punya pesawat, "hanya" pabrik pengolahan hasil laut dan kapal-kapal ikan.

Seminggu kemudian, profil beliau muncul di media, hasil wawancara temanku. Hebat memang perempuan itu. Usahawan tangguh dan berani.

~~~~~

Lalu sekarang, Ibu Susi jadi Menteri Perikanan dan Kelautan (eh, benar ya, begini nulisnya?) Sebuah pencapaian yang kurasa memang pantas. Tidak kuingkari bahwa beliau memang orang yang hebat sekali. Deretan prestasi kerja membuktikan hal itu.

Tapi ...

Ibu Susi bukan perempuan yang akan kujadikan teladan ketika mendidik anak-anak gadisku.

Tentu saja ini bukan berarti lantas aku menyembunyikan cerita kehebatan Ibu Susi ini pada Elok dan Embun. Tentu saja bila suatu saat bercerita tentang beliau, akan kuceritakan kehebatan itu dengan semangat. Namun aku tidak akan mengatakan pada mereka; tirulah Ibu Susi.

Fakta bahwa beliau hanya lulusan SMP, tidak akan kusembunyikan dari anak gadisku. Namun menyikapi hal ini, aku tak akan mengatakan pada mereka:
Buat apa sekolah tinggi-tinggi, lulus SMP saja bisa jadi Menteri.

Tidak!

Aku akan tetap mengarahkan Elok dan Embun untuk bersekolah setinggi-tingginya. Bahkan sudah kusiapkan biaya untuk pendidikan mereka sampai menjelang kuliah (eh, dapet dari hadiah, ding ^_^ ) Aku tetap ingin anakku senang bersekolah. Yang lulus SMP jadi menteri itu ya Ibu Susi. Perempuan super hebat. Anakku mungkin tidak setangguh dan sehebat beliau. Mau jadi apa kalau hanya lulus SMP? Semisal anakku sehebat Ibu Susi, tentu akan memperoleh pencapaian lebih jika ditunjang pula dengan pendidikan tinggi. Insha Allah...

Tentang attitudes, tentulah aku ingin anakku tidak merokok dan bertatto. Aku tidak menghujat Ibu Susi yang seperti itu. Karena itu adalah pilihan. Aku pun punya hak memilih bagaimana mendidik anakku.

Jadi hikayat tentang Ibu Susi yang kusampaikan pada anakku, adalah tentang hal-hal hebat dalam bekerja.

Aih, ada itu kemarin yang konyol membandingkan Ibu Susi dengan Queen of Scary (Ratu Atut). Laaah, ya itu bukan tandingannya. Tidak seimbang. Ibarat membandingkan buah apel dengan jamblang. Pembandingan itu ujungnya hanya akan melahirkan bullying pada keduanya.

Kalau mau membandingkan, cari lawan yang sepadan. Sesama menteri perempuan, misalnya. Coba sandingkan dengan Ibu Khofifah, atau Ibu Retno. Kalau masih ngotot juga ingin membandingkan dengan 'orang luar', coba adu dengan Ibu Risma. Haa...

Iya, iya... Ibu Susi orang hebat. Tidak kubantah itu. Kehebatannya itu juga bikin aku optimis kok, dengan posisi dan tugasnya sebagai pembantu Presiden Jokowi.

Tapi bukan Ibu Susi yang akan kujadikan role model untuk anakku.

Ada permasalahan personal juga sebetulnya. Aku pun menyimpan kekecewaan terhadap beliau. Ini berkaitan dengan bencana banjir yang dialami daerah tempat kakakku tinggal di Cilacap Barat.

Tiap tahun kakakku kebanjiran karena luapan sungai Citanduy yang terhambat alirannya ke laut oleh pendangkalan Segara Anakan (karena sedimentasi). Solusinya sudah ada, yaitu dengan menyodet sungai Citanduy. Karena sungai Citanduy ini melintas di dua wilayah, yaitu Cilacap-Jateng dan Pangandaran-Jabar, maka realisasi proyeknya tentu melibatkan dua daerah. Termasuk di wilayah itu adalah wilayah usaha milik Ibu Susi. Tentulah beliau berkepentingan menjaganya, meski harus menghalangi proyek ini. Media menulis, Ibu Susi memediasi konflik pemerintah dan warga dalam proyek penyodetan Sungai Citanduy. Di media, she is a hero ...

Dan aku, yang hanya seorang adik dari warga yang rumahnya terendam sampai atap, boleh saja kecewa, bukan? Kekecewaan yang sama besar pada Pemkab kami juga, sih ... Jadi memang tak perlu dimunculkan, apalagi sampai membully Ibu Menteri.

Baiklah, senang sudah pernah bertemu dan berbincang langsung dengan perempuan hebat seperti anda, Bu... Selamat bekerja. Dengan kehebatan anda, aku pun optimis anda akan bekerja bagus di bidang itu. Semoga anda bisa mengoptimalkan potensi laut Indonesia  dan menjaganya untuk tetap lestari.

Teladan perempuan hebat untuk anak-anakku, bukan Ibu Susi.

:)