Saturday, January 3, 2015

RONA


Tak ada lagi yang bisa kulakukan sekarang. Terlambat sudah ...

Kucengkeram sandaran kursi dingin ini dengan tangan gemetar. Dadaku sesak, mataku panas, dan tenggorokanku tercekat. Sesal, marah dan rasa tak berguna berbaur, kemudian tumpah menjadi butiran-butiran keringat dingin.

Rona duduk mematung. Hanya kembang kempis pelan napasnya yang menandakan dirinya masih bernyawa. Matanya terbuka, namun tak ada sinar yang hidup di sana. Pupilnya sama sekali tak bergulir meski tirai jendela melambai-lambai menyebabkan sinar mentari menyengat-meredup menimpa wajanya. Aku saja silau. Tapi tidak dengan Rona.

Kematian memang mengerikan. Berkali-kali aku menyaksikan lepasnya nyawa dari raga. Pekerjaanku di Rumah Sakit Panti Jompo membuatku tak asing dengan hal itu. Kesedihan yang timbul dari kematian telah kualami berulang-ulang. Hari ini ada, esok tiada. Hari ini masih bercengkerama, esok telah beda dunia. Itu sudah biasa sekali bagiku.

Namun yang Rona alami memukulku telak di dinding hati yang paling sensitif. Sedih dan kehilanganku sungguh dahsyat. Bukan nyawa yang tercerabut dari raga, melainkan cahaya hidupnya. Yang mati pada diri Rona adalah kewarasannya, akal budinya. Kini Rona tak lebih dari sekedar tubuh yang bernapas, tanpa akal bahkan napsu.

Seandainya saja dulu aku lebih keras mencegahnya ...

*******

Setahun yang lalu ...

”Sebaiknya kamu pikirkan lagi masak-masak sebelum memutuskan perkara sepenting itu,” Ucapku pelan.

”Sudah dua bulan aku memikirkannya. Kurasa niatku sudah bulat sekarang,” Sahut Rona mantap.

”Jadi ...,” Aku tak berani meneruskan.

”Ya. Akan kuterima tawaran pasangan itu menyewa rahimku seharga NTD 900.000,” Rona menutup percakapan.

Dia sehat, berbadan ideal, dan cantik. Pernah menikah, namun sebelum sempat hamil, suaminya sudah keburu meninggal. Rona seorang janda kembang. Hidup miskin di desa membuatnya bergerak bersama arus ribuan perempuan -termasuk aku- bekerja ke luar negeri menjadi buruh. Bila aku bekerja di Rumah Sakit Panti Jompo, Rona memperoleh pekerjaan di sebuah pabrik kancing. Mess kami bersebelahan. Dari kedekatan tempat inilah kami saling mengenal.

”Mereka sudah 15 tahun menikah, tapi belum juga berhasil punya anak. Tenang saja, Rin, bosku yang menawarkan ini padaku. Pasangan itu adalah rekanan bisnisnya di China,” Cerita Rona berapi-api.

”Tapi hal seperti ini mungkin ilegal,” Aku coba mengingatkan.

”Mmm ... Nggak tahu juga, ya. Ah, tapi bukannya bosku juga pejabat di sini. Pasti dia tahu soal hukum,”

”Mungkin bukan hal yang benar juga menurut Islam ...,”

Aduh, mengapa aku ragu mencegahnya? Sebabnya adalah karena aku tidak tahu hukum di Taiwan, dan hukum agamaku sendiri soal sewa rahim. Hati kecilku berkata ’jangan’ dengan sangat keras, namun mulutku tak sanggup mendebat Rona yang seperti sedang dijatuhi bintang.

*********

Terjadi sudah. Tiga calon janin sudah bersemayam di rahim Rona. Dan dia adalah wanita yang kuat. Kehamilan tidak membuat fisiknya melemah. Tak ada ngidam, pre-emesis, atau apapun. Rona hamil dengan sangat sehat dan nyaman.

Tentu ini juga membuat pasangan yang menyewa rahimnya sangat gembira. Rona diperlakukan seperti raja. Dia tidak lagi harus bekerja berjam-jam di pabrik dan tinggal di mess ramai-ramai dengan banyak pekerja. Tempat tinggalnya kini adalah apartemen mewah yang penuh fasilitas.

Namun rupanya Rona bukan kacang yang lupa kulitnya. Perubahan drastis hidupnya tidak menjauhkan dia dari kami, teman-teman lamanya. Hampir tiap hari dia masih mengunjungi kami di mess maupun di warung tempat kami kumpul. Penampilannya memang sangat berubah. Segala yang melekat di tubuhnya adalah barang bermerk. Tasnya saja tak akan terbeli dengan dua bulan gajiku. Dan itu semua diberikan cuma-cuma oleh penyewa rahimnya. Uang kontrak senilai NTD 900.000 utuh tak tersentuh diberikan dalam bentuk tabungan berjangka setahun. Mujurnya lagi, bos pabrik tempatnya bekerja juga masih menggajinya. Gaji inilah yang Rona kirim ke kampung untuk keluarganya. Utuh. Semuanya.

Aku suka memperhatikan perubahan pada tubuh Rona. Kulitnya kini makin segar, badannya agak berisi. Pinggulnya melebar, dan dadanya membesar. Kehamilannya masih samar, tapi Rona sudah membiasakan diri memakai pakaian lembut yang tidak mengikat perut. Bagiku, Rona semakin cantik. Orang hamil memang selalu cantik.

Keceriaan Rona tetap seperti dulu. Bercanda dan tertawa-tawa lepas, saling ledek dan bicara agak kasar -meski gurauan- dengan kami, dan mengemil makanan bersama dalam wadah besar.

Namun pada suatu sore, aku melihat Rona yang berbeda. Dia melangkah pelan-pelan sambil tesenyum. Ditariknya tanganku, diajaknya menyentuh perut yang sudah membukit.

”Mereka sudah bergerak-gerak!” Pekiknya bersemangat.

Ketika kuraba, aku merasakan kedutan lembut di perutnya. Kulihat Rona tersenyum, menarik napas panjang, dan memejamkan matanya dengan anggun.

Sejak saat itu Rona menjadi sangat lembut dan melankolis. Tak jarang kulihat dia sedang mengelus perutnya sambil bergumam mesra bicara sendiri. Dia bahkan mulai mereka-reka nama untuk bayi tabungnya. Dari tiga calon janin yang ditanam, hanya dua yang berhasil bertahan. Aku melihat Rona telah tumbuh menjadi ibu.

Dan inilah bibit dari masalah besar dalam hidupnya; Rona jatuh cinta pada janin milik orang lain. Memang tidak salah, tapi tidak seharusnya Rona jatuh cinta sedalam ini ...

********

”Mbak Rin, Rona tadi telepon, sore ini dia operasi cesar. Kalau mbak Rin kosong, dia minta ditemani,” Seorang kawan kerja menyampaikan pesan dari Rona.

Aku baru saja sampai mess setelah kerja lembur dua shift. Kebetulan, akhir pekan libur dan awal pekan kebagian shift akhir. Ah, aku bisa menemani Rona dua hari penuh!

Tak perlu kuambil tempo, langsung kutuju rumah sakit tempat Rona operasi. Saat itu dua bayi mungil baru saja diambil dari semayam hangat rahim Rona. Aku diijinkan masuk oleh penyewa rahim Rona, dan menyaksikan itu semua dari balik kaca bersama mereka. Kulihat dokter masih mengurus luka di perutnya, sedangkan asistennya meletakan bayi-bayi mungil itu di atas dada Rona yang telanjang. Mata Rona berair, namun bibirnya tersenyum tanpa henti. Bayi-bayi itu secara insting mencari puting susu.

Pasangan penyewa rahim berpelukan dalam haru. Aku pun terharu dan merasakan kebahagiaan mereka menemukan muara dari penantian panjangnya.

*******

Keibuan Rona makin sempurna dengan menetesnya cairan putih kekuningan dari payudaranya. ASI Rona mulai berproduksi.

Rona memang bahagia, namun agak gusar karena tidak diijinkan menyusui langsung. Berkali-kali dia meminta pada dokter, namun selalu ditolak dengan berbagai alasan. Bayi-bayi itu menyusu dari ASI perah yang disuapkan dengan botol.

Aku tak bisa menunggui Rona setiap waktu. Namun setiap ada waktu luang, aku selalu datang ke Rumah Sakit mengunjunginya. Maka aku tahu perkembangannya. Rona sehat dan luka operasinya membaik. Aku tak tahu kabar tentang bayi-bayi itu. Ah, kupikir itu bukan urusanku. Pasti orangtua sang bayi sudah menjamin perawatan terbaik. Yang terpenting bagiku adalah Rona. Aku hanya fokus padanya.

Rupanya tidak begitu bagi Rona. Hampir dua minggu dia tidak bertemu lagi dengan bayi-bayi itu semenjak hari kelahiran mereka. Ini benar-benar membuat Rona gusar dan seperti patah hati.

Hingga di hari ke-20, bos Rona di pabrik sengaja menemuiku yang sedang bekerja.

”Sudah saya mintakan ijin pada kepala Rumah Sakit untukmu. Tolong ikut saya. Rona membutuhkanmu,” Ucap lelaki itu dengan cemas.
Ada hawa tidak enak merayapi naluriku...

Benar saja ...

Sesampainya di Rumah Sakit, kulihat Rona sedang meronta-ronta di atas ranjang. Lengan dan kakinya sudah terikat. Tangisnya memilukan. Perawat yang didekatnya terlihat sedang menyiapkan sebuah suntikan.

”Jangan bawa pergi anak-anaku! Jangan! Aku yang mengandungnya! Aku ibunya!!!”

Histeris teriakan Rona menggema sampai lorong panjang yang penuh tenaga medis berlalu-lalang. Aku langsung menubruk memeluk tubuh Rona tak peduli dengan orang-orang sekitar. Rona menerima pelukanku dengan berhenti meronta, tapi terus menangis. Aku tahu, sangat tahu, apa yang terjadi ...

Inilah yang aku khawatirkan sejak lama. Bahkan sejak benih manusia itu belum ditanam di rahimnya. Meski bukan darah dagingnya, namun bayi-bayi itu telah menjadikan Rona seorang ibu. Aliran darah mereka pernah bersatu, detak jantung mereka pernah bersenyawa. Bagaimana bisa sekarang harus berpisah?

*********

”Dua bulan lagi semua uang kontrak rahimnya akan likuid. Gajinya bekerja padaku setahun kedepan juga akan kuberikan. Tolong kamu urus semuanya. Tiket dan seluruh keperluan untuk kepulangannya sudah kupersiapkan,” Ucap bos Rona.

Datar sekali lelaki itu mengatakan semuanya. Gigiku gemelutuk menahan geram. Namun aku tak bisa apa-apa. Posisiku tidak berdaya. Yang kumampu sekarang hanya mendampingi Rona sampai ke Indonesia.

Kupertaruhkan pekerjanku demi menjamin Rona pulang dengan aman. Cuti tahunan kuambil di awal. Dengan segala omelan dan segudang peringatan, aku membawa saudaraku kembali ke keluarganya dengan senyata-nyata kekalahan. Cita-cita Rona tinggal kenangan.

Aku merutuki diriku sendiri yang tidak berdaya karena kebodohan.

※TAMAT※