Monday, December 23, 2013

K E S A T

Ketika tinggal jauh di luar kota, mendapat kunjungan keluarga menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan. Apalagi bila yang datang adalah orangtua dengan sekeranjang rindu sebagai buah tangan.

Kali ini Abah yang datang berkunjung. Beliau adalah ayah Mas Huda, suamiku. Alias ayah mertuaku. Namun karena aku sudah tidak punya ayah, maka Abah serasa menjadi ayahku saja.

”Assalamualaikum,” Salam Abah.

”Kakek datang! Asyiiik ... ” Sambut Raihan, anakku.

”Waalaikumsalam, Abah,” Jawabku.

Seperti sebelumnya, Abah selalu menyentuh ubun-ubunku ketika kucium punggung tangannya. Damai rasanya. Sedangkan Raihan langsung ”nemplok” menggelayuti kaki Abah.

”Ayo, Kek. Hari ini kita bikin tenda. Kita kemah,” Rengek Raihan.

”Kakek harus istirahat dulu, Nak. Kemahnya besok saja, ya,” Ucapku.

Raihan merengut, dan makin erat memeluk kaki Abah.

”Tidak apa-apa. Ayo kita bikin tenda. Eh, bikin saung saja, ya, seperti di desa,” Abah mengabulkan keinginan Raihan.

Raihan gembira tak kepalang. Baginya, kehadiran Abah seolah mengobati kesepiannya karena hampir sebulan ini ayahnya selalu pulang larut. Sedangkan aku tidak pernah bisa nenjadi teman yang menyenangkan baginya ketika bermain. Menurutnya, aku terlalu banyak bilang ”jangan”. Maklum, emak-emak.

Hal lain yang membuatku begitu senang bertemu Abah adalah karena darinya aku seolah bisa mengintip masa depan. Bagaimana tidak? Sewaktu muda, Abah sangat mirip dengan Mas Huda. Bukan hanya secara fisik saja, melainkan juga gerak tubuh dan gaya bicaranya. Melihat Abah, aku seolah tahu kelak suamiku seperti apa ketika tua nanti.

Demi Abah, aku yang biasanya hanya masak sederhana, sekarang masak makanan yang agak istinewa. Bukan makanan mewah, melainkan makanan kesukaan Abah, yaitu pecak jantung pisang dan sambal petai.
Karena sibuk di dapur, aku tak merasakan waktu yang beranjak asar. Ketika Abah selesai bermain dengan Raihan, Abah berniat hendak mandi. Aku baru ingat kalau sampo di kamar mandi sudah habis. Maka segera kumatikan kompor dan lari ke warung untuk membelinya.
Aih ... Ternyata warung sedang ramai. Untuk membeli sampo saja aku harus mengantri. Ketika kembali, kulihat Abah sudah segar habis mandi dan duduk di beranda sedang membacakan buku untuk Raihan.

”Abah, maaf. Warungnya penuh tadi, beli sampo harus antri. Maaf Abah tidak keramas jadinya,” Ucapku.

”Abah keramas, kok. Abah pakai sampo yang ada di botol di rak kamar mandi,” Kata Abah.

Aku mengerutkan dahi mencoba mengingat sampo apa yang kupunya dalam botol. Perasaan aku selalu membeli sampo sachet.

”Keramas pakai sampo apa, Bah?” Tanyaku.

”Itu yang di botol ungu. Wangi betul baunya. Rasanya juga semriwing, enak. Kepala Abah terasa bersih kesat,” Jawab Abah sambil mengusap rambutnya sendiri.

Hah?!! Jangan-jangan ...

Aku segara berjalan setengah berlari ke kamar mandi dan memeriksa ”sampo” dalam botol yang dipakai keramas Abah.

Duh, Gusti!!

Aku menepuk jidatku sendiri berkali-kali
Pantas saja tadi aku mencium aroma wangi yang tidak asing. Pantas saja Abah merasa kepalanya bersih kesat. Ya, kesat.

Abah keramas dengan sabun sirih milikku.



Image by Google Search

Saturday, December 21, 2013

GAGAL

Petang baru saja merembang, aku sudah berdiri mangkal di perempatan sepi ini. Sedih rasanya mengingat apa kata Mami -induk semangku- tadi.
”Apapun yang kamu akan lakukan aku tidak peduli. Yang penting isi penuh kantongmu itu!”
Kasar, mengintimidasi, dan menciutkan nyaliku. Berkali-kali kuhela napas untuk melonggarkan dadaku. Aku menata mimik, berusaha berpenampilan terbaik untuk bisa mendapat mangsa malam ini. Satu saja cukup untuk membuat kantongku tak lagi kosong.

Lama aku menunggu. Yang pertama kali muncul adalah tukang sate. Ini bukan mangsaku, maka kubiarkan saja berlalu. Kemudian lewat seorang ibu menggandeng anak kecil. Ini juga bukan mangsa yang potensial. Eh, tapi anak kecil itu melambatkan langkah dan berkata pada ibunya,
”Bu, lihat itu di sebelah pohon asem. Lucu, ya?”
Apa? Lucu? Ih, dasar anak kecil tidak bisa mengapresiasi penampilan. Ibunya melihatku sambil mencibir, lalu meludah. Cih!!

Malam mulai benar-benar menunjukan wajah aslinya. Gelap menelan cahaya. Lampu jalan di seberangku menyala redup. Kulihat seseorang berjalan melenggak-lenggok. Ah, itu si Oneng, yang biasa juga mangkal di sini untuk menunggu jemputan lelaki yang akan mengencaninya semalaman. Oneng melihatku, tapi dia diam tak menyapa. Memandangku pun hanya sekilas saja.
Sebuah truk melaju pelan ke arahku. Ah, mungkin ini mangsaku. Aku pun bersiap-siap. Tapi Oneng menyeberang dan menyongsong pintu truk yang terbuka. Duh, rupanya ini pelanggan Oneng. Ingin rasanya aku mendekat, sekedar untuk sedikit mengisi kantongku. Namun Oneng mendelik dan mengacungkan jari tengah mengusirku. Aku pun surut mundur seketika.

Malam kian larut dan aku kian gundah. Perempatan ini sepi sekali. Mungkin aku harus bergerak mencari mangsa dari gang ke gang. Hmm ... Ya, boleh dicoba meski beresiko.
Gang pertama, kosong.
Gang kedua, ramai karena ada orang hajatan. Jelas tidak bisa kulewati.
Gang ketiga, kosong lagi. Tapi aku memutuskan untuk menunggu saja di sini. Siapa tahu ada mangsa lewat. Rejeki akan datang dari tempat tak terduga. Siapa tahu gang ketiga inilah tempat tak terduga itu.
Ketika sampai pada sepertiga malam terakhir, aku melihat bayangan orang bergerak tergesa. Ah, mungkin ini mangsaku.
Waduh, gawat! Yang bergerak tergesa ini adalah ustadz Arifin. Ini jelas berbahaya. Orang seperti ustadz ini adalah golongan yang paling anti dengan kaumku. Kalau sampai beliau melihatku, bisa jadi aku ”dikepret” dan diusir dengan cara yang menyakitkan.Maka aku sembunyi menghindari pandangan ustadz Arifin.
Setelah beliau lewat, aku keluar dari persembunyianku dan memutuskan untuk pulang saja. Toh sebentar lagi pagi. Waktu dinas kerjaku akan habis. Biarlah Mami memarahiku karena gagal mengisi kantong, yang penting aku selamat dari ustadz Arifin.

Benar saja.
Di depan pintu markas Mami sudah menungguku dengan muka masam. Aku mengerti dia kecewa berat dengan kerjaku malam ini. Mau bagaimana lagi? Wilayah perburuan mangsaku memang terbatas. Dan di wilayah ini orang-orangnya sudah pintar. Sudah tidak takut lagi pada hantu.
Kusodorkan kantongku yang masih kempes. Ini adalah ’kantong teriak’ yang akan menggelembung sendiri ketika ada orang berteriak ketakutan karena melihat hantu. Isi kantong inilah sumber kekuatan kaum kami.
Mami merebutnya dengan kasar. Raut kecewanya makin tebal. Mungkin aku adalah hantu asuhannya yang paling gagal sepanjang sejarah perinduksemangannya.
Ah, aku gagal menjadi kuntilanak yang menakutkan.

Image by Google search

Thursday, December 19, 2013

HUJAN DALAM KENANGAN

Tak ada indah yang dapat kukenang
dari hujan
Bahkan gerimis yang syahdu
adalah sembilu

Mungkin seharusnya aku tak berada di sana
Ketika hujan tiba di ambang senja
Dan melihat kalian saling menikam kata
Aku masih terlalu kecil untuk mengerti
Tapi kalian seret hatiku untuk lekas tahu
kisah yang tak pernah terlintas dalam mimpi
Bahkan air mataku jatuh untuk alasan yang tak pernah kumengerti

Senja itu
Ketika hujan membuat gaduh
Aku menutup telinga dan sembunyi di balik pintu almari
Kututup mata dan kupaksa bernyanyi
dalam sedu sedan
Agar kata-kata kalian tak kudengar

Mungkin seharusnya aku tak berada di sana
Ketika hujan tiba di ambang senja
Karena sejak itu aku tak pernah lagi melihat kalian bersama
Dan aku tumbuh sendiri
dengan kenangan buruk tentang hujan

Image by Google search